Hijab for Sisters

Resensi Tiga Bianglala


Novel Tiga Bianglala

Sinopsis Tiga Bianglala

Itut menjalani hari-hari di Kampung Bala, pinggiran kota Palembang. Ia tinggal berimpitan dalam rumah reyot tapi hangat bersama lima orang saudara dan kedua orangtua.

Dengan sifat iseng, jail, dan penuh akal, Itut yang berkulit hitam dan kumal mencoba menikmati masa kecil bersama Manna, sobatnya yang cantik dan manis.

Bermain cak engkleng, menyewa sepeda mencuri buah dari pohon tetangga, hingga berjualan es bungkus adalah kegiatan yang mengisi hari-hari mereka. 

Tak peduli pada gerombolan Vivi yang menyombongkan kekayaan, mereka malah berteman dengan Meimei, gadis Tionghoa yang dianggap aneh tapi juara di kelas.

Itut yang kehilangan ayah, Manna yang kerap dimarahi sang ibu tiri, dan Meimei yang terisolasi karena etnisnya, saling menghibur dan memberikan semangat. Hingga datang satu mobil mewah ke kampung yang penuh warga miskin tersebut dan mengubah kehidupan tiga gadis cilik itu.


Ada Resensi

Pada pandangan pertama, ada dua hal yang menarik perhatian saya dari novel ini. Pertama, nama penulisnya yang baru kali ini saya temukan. Kedua, tulisan Teenlit di pojok kiri atas.

Tentang nama, mungkin saya yang kudet. Tapi nama Misna Mika yang asing bagi saya itu tidak menghalangi keinginan saya untuk membaca buku ini. Oh, saya bukan penikmat buku yang membaca buku semata-mata karena label “best seller”. Best seller atau tidak adalah soal nasib, tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas isi buku.

Membuka novel ini, dari halaman pertama sampai terakhir saya tidak menemukan informasi tentang si penulis. Tidak ada thanks to, tidak ada profil penulis. Misterius!

Hei, apakah Misna Mika adalah nama samaran seseorang yang tak ingin diketahui identitas aslinya?




Kedua, tulisan “Teenlit” di pojok kiri atas kaver yang terasa tidak cocok dengan gambar kavernya. Teenlit… tapi kok gambar kavernya anak-anak? Isi blurb (yang oleh pembaca biasa disebut “sinopsis”) pun tidak menunjukkan keremajaan. 

Tiga Bianglala berkisah tentang kehidupan tiga sahabat: Itut, Manna, dan Meimei. Mereka tinggal di Kampung Bala, di pinggiran kota Palembang. Tidak disebutkan tahunnya. Namun, dari nama para bintang idola yang kerap disebutkan (Ira Maya Sopha dengan film Ratapan Anak Tiri, Adi Bing Slamet, Chicha Koeswoyo) dan harga sebotol Fanta yang Rp 10,- kisah ini mestinya berlatar tahun 1979 hingga awal tahun 1980an.

Itut dan Manna sama-sama hidup prihatin. Lebih-lebih Itut yang sering harus menahan lapar karena tidak ada makanan di rumahnya. Namun, itu tidak mengurangi keceriaan Itut, apalagi ada Manna sang sahabat sejati.

Kemiskinan dan kekumuhan Itut dan Manna membuat mereka sering dihina oleh Vivi. Manna bahkan sampai berkelahi dengan Vivi demi membela Itut.

Persahabatan Itut dan Manna kian berwarna dengan masuknya Meimei dalam kehidupan mereka. Anak Tionghoa yang sering dianggap aneh itu ternyata teman yang menyenangkan. Begitu pula dengan keluarganya. Berteman dengan Meimei yang pintar membuat Itut dan Manna jadi lebih giat belajar.

Bagi saya, novel Tiga Bianglala ini menarik. Ada Bu Lastri dan Bu Sakdiah yang pilih kasih serta hanya memperhatikan anak-anak orang kaya. Ada Pak Jainal yang tegas tapi berlaku adil pada semua muridnya.

“Anak-anak belajar dengan tekun dan bersemangat karena guru yang tidak membedakan anak-anak muridnya, baik orang berada maupun orang miskin. Itu yang membuat anak-anak senang pada Pak Jainal.” (halaman 238)

Saya berharap blurb novel ini hanyalah bagian ketika Itut, Manna, dan Meimei masih kanak-kanak (mereka bersekolah di SD Inpres 08). Berharap di bab entah berapa, diceritakan bahwa mereka sudah remaja. Dengan begitu, wajar saja novel ini disebut Teenlit.

Tapi harapan saya itu tidak terpenuhi. Di awal cerita Itut dkk kelas 5 SD. Di akhir cerita, mereka lulus SD. Sekian. Tidak ada sedikit pun cerita ketika mereka sudah masuk ke usia remaja.

Heran, tentu saja. Kenapa cerita ini masuk ke kategori Teenlit ya? Biasanya pembaca yang masuk sasaran teenlit ini usia SMP-SMA. Melabeli novel ini “Teenlit” apa tidak membuatnya meleset dari sasaran?

Atau ... hm ... saya anggap saja novel ini seperti Laskar Pelangi yang tokoh utamanya anak-anak tetapi bukan buku anak.

Lepas dari label "Teenlit" itu, bagi saya novel ini bagus. Layak dan aman dibaca oleh anak-anak. Recommended bagi orangtua yang ingin memberikan bacaan bagus, aman, memotivasi anak, membumi, sekaligus bemuatan lokalitas. 

Paling-paling anak-anak hanya akan bertanya-tanya tentang seting waktu yang asing bagi mereka. Tentang bahasa, memang agak kaku untuk ukuran anak sekarang. Namun, menjadi wajar jika mengingat seting waktunya.

Identitas Buku

Judul: Tiga Bianglala
Pengarang: Misna Mika
Penerbit: Gramedia, 2013
Tebal: 299 halaman
ISBN:  978-979-22-9919-9


Cheers,
www.adaresensi.com

Tidak ada komentar

Mohon maaf, komentar dengan link hidup akan saya hapus. Thanks.